2 Mei 2013

PSIKOLOGI KLINIK
Fenomena Video Kekerasan Gadis ABG, Dimanakah Iner Beauty-Mu ??




KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya makalah yang berjudul “Kekerasan Terhadap Remaja” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah Psikologi Klinik.
Keberhasilan penulis dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membaca.

Kasus
Menonton video tentang Kekerasan Cewek ABG di Bali yang ramai dibicarakan di media masa dan diunggah di Youtube, serta dishare di FB baru-baru ini, membuat bulu kuduk saya berdiri. Popularitas video kekerasan itu menaikkan rating hingga mencapai ratusan ribu penonton di youtube, dan saya kira jumlah orang yang mengakses video itu saya yakin akan bertambah lagi. Tetapi, menonton video yang berdurasi lima menit lebih, membuat hati saya gelisah tak karuan, “Di manakah sebenarnya hati nurani dan kelembutan hati para cewek remaja ABG itu?”
Terus terang, saya sangat iba dan kasihan terhadap cewek ABG yang jadi korban. Tapi di lain pihak, hati saya merasa miris betul melihat tingkah laku para pelaku yang ternyata mereka adalah geng cewek remaja macho. Mengapa ajang persahabatan dan pertemanan dalam per group anak remaja, yang seharusnya menjadi wadah untuk pengembangan diri dan kepribadian, berubah brutal sehingga menjadi agen kekerasan terhadap sesamanya? Di manakah kau sembunyikan inner beautymu?
Jelaskan bagaimna fenomena kekerasan ini terjadi dan bagaimana menanggulanginya dari sudut pandang psikologi..


I.              Pengertian Inner Beauty dan Kekerasan
Inner beauty merupakan energi dari sebuah kecantikan yang akan membuat seseorang terlihat cantik meski secara fisik tidak memenuhi kriteria cantik alias biasa-biasa saja. Banyak orang juga memberi definisi inner beauty sebagai kekuatan yang tidak nampak secara fisik.
Salah satu kegiatan yang bisa dilakukan oleh remaja putri untuk memperlihatkan inner beauty nya sebagai seorang wanita adalah dalam mengikuti pemilihan Putri Miss Indonesia, salah satu syarat penilaian-nya adalah bagaimana mengeksplorasi inner beauty bersinergi dengan kecantikan fisiknya. Video kekerasan cewek ABG di Bali, menjadi bukti bahwa inner beauty remaja putri yang dimilikinya tidak mendapat perhatian serius oleh banyak pihak, termasuk orang tua kurang mempedulikan inner beauty anak putrinya. Padahal jika orang tua peduli dan memonitor perkembangan inner beauty anak putrinya dalam konteks perkembangan kepribadian anak, niscaya kekerasan itu tak akan terjadi.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall ( dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Stetemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu diawal abad ke-20 oleh bapak psikologi remaja yaitu Stanly Hall. Pendapat Staley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan masa tekanan (storm and stress).
Merurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisi identitas atau pencarian identitas diri. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian. Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja.
II.      Fenomena video kekerasan gadis ABG, dimanakah inner Beauty-Mu...?
Video kekerasan ABG di Bali, dapat menjadi bukti bahwa sekarang ini inner beauty remaja putri sudah tidak terpancar lagi, hal itu di buktikan dengan adanya tindakan kek erasan yang seharusnya tidak di lakukan oleh seorang perempuan karena pada kodratnya seorang perempuan mempunyai sifat yang lemah lembut,penyanyang, pemaaf dan tidak kasar. Namun remaja putri tersebut bersikap sebaliknya yaitu kasar dan pemarah.
Dalam video yang saya lihat,, ada sekitar tujuh orang remaja putri mengeroyok satu orang remaja putri. Entah apa penyebabnya, tapi, seorang ABG putri itu terlihat diinterogasi oleh keempat remaja putri.Dari petikan pembicaraan yang terekam dengan bahasa Indonesia bercampur Bali itu, terdengar seorang dari mereka menagih uang sebesar Rp200 ribu kepada korban.
Dari situ, adegan penganiayaan pun terjadi. Satu orang dari tujuh remaja putri itu memukul korban. Tiga kali korban terkena bogem mentah remaja berbaju hijau dan kuning. Sementara rekannya memerhatikan dan sesekali ikut memukul korban sambil mengeluarkan kata-kata kasar. Dalam video berjudul "Kekerasan ABG Bali" itu, korban yang mengenakan baju berwarna ungu itu tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menangis tak berdaya. Hanya bisa pasrah terhadap apa yang dialaminya.

A.    Mengapa fenomena kekerasan ini dapat terjadi..?
Ada beberapa akar penyebab terjadinya perilaku kekerasan yaitu :
1.      Adanya frustasi yang dialami oleh pelaku tindak kekerasan. Frustasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai dihalang-halangi sehingga yang bersangkutan gagal mencapai tujuannya. Faktor frustasilah yang menjadi salah satu sumber mengapa mereka yang berpendidikan dan status sosial dan ekonomi rendah sering melakukan tindak kekerasan. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan mereka hanya memiliki sumber daya yang sangat terbatas pada sisi yang lain akan mudah sekali menimbulkan frustasi.
Reaksi terhadap frustrasi umumnya ada tiga macam. Pertama adalah menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut. Kedua dengan tingkah laku apati dan ketiga adalah dengan melakukan tingkah laku agresi. Biasanya keputusan untuk menggunakan salah satu dari ketiga reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku merasa dirinya lemah/minoritas ataukah kuat/berkuasa/mayoritas. Bila dia merasa lemah, dia akan mengambil keputusan untuk melakukan tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Bila situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari, maka reaksi apati menjadi pilihan yang terakhir. Sebaliknya bila pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.
2.      Adanya pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil, ini terutama karena budaya pengasuhan kita umumnya mengijinkan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap anak. Anak mengalami pengasuhan dengan pola kekerasan, pada saat besara nanti juga akan mudah sekali melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain meskipun sebenarnya tidak menyukainya.
3.      Faktor kepribadian. Pada gangguan jiwa misalnya gangguan kepribadian pola agresif. Orang yang mengalami pola agresif ini dicirikan dalam tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai dan bila ada situasi yang menyebabkan frustasi. Selain itu gangguan kepribadian status juga dapat menyebabkan tingkah laku kekerasan. Kepribadian status ini sering kali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan.

B.     Fenomena kekerasan dalam sudut pandang psikologi
1.      Teori psikoanalisa
Menurut teori psikoanalisa, struktur jiwa manusia dibagi menjadi tiga, yaitu superego, ego dan id. Superego bekerja berdasarkan prinsip ideal (yang seharusnya). Isi superego adalah segala perintah dan larangan yang dibatinkan (internalisasi) dari orang tua dan tokoh-tokoh yang berkuasa (juga ajaran agama) bagi si anak. Ego bekerja berdasarkan prinsip realita. Egolah yang terutama menggerakkan perilaku sadar individu. Sedangkan id bekerja berdasarkan prinsip kenikmatan/kesenangan. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki ego yang kuat sehingga mampu mengontrol dorongan yang berasal dari id maupun superegonya.
Pada dasarnya perilaku manusia digerakkan oleh dua dorongan dasar, yaitu dorongan untuk hidup (eros) dan dorongan untuk mati (thanatos). Dorongan untuk hidup kemudian oleh Freud dispesifikkan pada dorongan seks (libido) sebagai intinya. Ini disebabkan karena Freud melihat berdasarkan pengalaman prakteknya, banyak pasien yang mengalami gangguan mental disebabkan mereka tidak mampu mengekspresikan dorongan seks mereka secara wajar. Libido ini yang mengisi energi pada id.
Pada bagian lain, energi superego berasal dari thanatos. Itulah sebabnya mengapa orang yang superegonya kuat dan mendominasi kepribadiannya, mudah diliputi kecemasan dan rasa bersalah yang pada akhirnya membuat individu diliputi perasaan putus asa dan depresi (bahkan keinginan untuk bunuh diri). Ini terjadi karena energi thanatos diarahkan kepada diri sendiri. Sedangkan bila energi thanatos diarahkan ke luar, ini akan muncul dalam bentuk perilaku agresi yang bersifat destruktif termasuk di dalamnya rupa-rupa tindak kekerasan.
Berdasarkan pandangan psikoanalisa tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya dorongan untuk melakukan tindak kekerasan memang sudah menjadi sifat dasar manusia (bawaan). Semua manusia berpotensi (tanpa kecuali) untuk melakukan tindak kekerasan (entah terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain).

2.      Pandangan behaviorisme
Berbeda dengan psikoanalisa, behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar. Manusia akan cenderung mengulangi tingkah laku yang menguntungkan dirinya sehingga tingkah laku tersebut akhirnya menjadi sifat dirinya. Orang yang berbadan kekar cenderung akan melakukan tindakan agresif karena tindakan tersebut lebih banyak menguntungkan dirinya (orang lain yang badannya kecil akan kalah dengannya). Di sini berlaku prinsip penguatan (reinforcement).
Tingkah laku juga terjadi karena adanya modelling (belajar meniru). Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, tetangga, media) menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan meniru tindakan kekerasan tersebut.Jadi, behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang perlilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.

C.    Bagaimana upaya penanggulangan dan pencegahannya..??
Pendidikan karakter menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa penekanan dalam pendidikan terfokus pada intelektual semata sedangkan karakter dari para pelajar tidak diarahkan sehingga para pelajar hanya tahu bagaimana mencapai intelektual tinggi tanpa tahu bagaimana mengubah karakternya sesuai dengan budi pekerti / norma dalam masyarakat.
Yang selanjutnya juga bisa dengan meninjau dari aspek spiritual dalam pendidikan. Setiap pelajar rata-rata masih dalam tahap mencari sosok panutan yang bisa dijadikan role model, namun tidak didapatkan di kalangan guru atau wali kelas yang umurnya berbeda jauh dan sulit bisa memahami pemikiran dan keberadaan mereka. Selain itu, penerapan spiritualitas dapat dimanifestasikan melalui memaksimalkan kegiatan kerohanian, pelajaran agama, dan pergaulan guru kepada murid, pergaulan yang baik antara guru dan muridnya akan membawa dampak yang baik karena guru bisa dijadikan tuntunan. Kegiatan keagamaan diharapkan dapat membantu internalisasi nilai positif. Selain itu, mencegah lebih baik daripada mengobati. Jika deteksi dini sudah dilakukan maka potensi penyimpangan dapat diminimalisir. Cara yang lain bisa dengan menegaskan ketegasan dalam penegakan hukum di sekolah. Bukan berarti penegakan hukuman ini berupa kekerasan atau menyudutkan karena justru malah memberi contoh buruk bagi pelajar, namun berikan hukuman yang memberi efek jera yang sifatnya mendidik dan konstruktif. Adanya fenomena kekerasan ini menurut kami juga dapat di sebabkan oleh karena kurangnya perhatian orang tua, anak-anak yang kurang perhatian orang tua akan cenderung lari untuk mencari pelampiasan yang biasanya ke arah negatif, maka dari itu orang tua perlu memberikan perhatian terutama dalam aspek afeksinya.

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya untuk mencegah semakin meningkatnya masalah kekerasan yang terjadi pada remaja, yaitu antara lain :
a)      Peran Orangtua
1.      Peran Sebagai Pendidik
Orang tua hendaknya menyadari banyak tentang perubahan fisik maupun psikis yang akan dialami remaja. Untuk itu orang tua wajib memberikan bimbingan dan arahan kepada anak. Nilai-nilai agama yang ditanamkan orang tua kepada anaknya sejak dini merupakan bekal dan benteng mereka untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Agar kelak remaja dapat membentuk rencana hidup mandiri, disiplin dan bertanggung jawab, orang tua perlu menanamkan arti penting dari pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah, di luar sekolah serta di dalam keluarga.
2.      Peran Sebagai Pendorong
Menghadapi masa peralihan menuju dewasa, remaja sering membutuhkan dorongan dari orang tua. Terutama saat mengalami kegagalan yang mampu menyurutkan semangat mereka. Pada saat itu, orang tua perlu menanamkan keberanian dan rasa percaya diri remaja dalam menghadapi masalah, serta tidak gampang menyerah dari kesulitan.
3.      Peran Sebagai Panutan
Remaja memerlukan model panutan di lingkungannya. Orang tua perlu memberikan contoh dan teladan, baik dalam menjalankan nilai-nilai agama maupun norma yang berlaku di masyarakat. Peran orang tua yang baik akan mempengaruhi kepribadian remaja.
4.      Peran Sebagai Pengawas
Menjadi kewajiban bagi orang tua untuk melihat dan mengawasi sikap dan perilaku remaja agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang membawanya ke dalam kenakalan remaja dan tindakan yang merugikan diri sendiri. Namun demikian hendaknya dilakukan dengan bersahabat dan lemah lembut. Sikap penuh curiga, justru akan menciptakan jarak antara anak dan orang tua, serta kehilangan kesempatan untuk melakukan dialog terbuka dengan anak dan remaja.
5.      Peran Sebagai Teman
Menghadapi remaja yang telah memasuki masa akil balig, orang tua perlu lebih sabar dan mau mengerti tentang perubahan pada remaja. Perlu menciptakan dialog yang hangat dan akrab, jauh dari ketegangan atau ucapan yang disertai cercaan. Hanya bila remaja merasa aman dan terlindung, orang tua dapat menjadi sumber informasi, serta teman yang dapat diajak bicara atau bertukar pendapat tentang kesulitan atau masalah mereka.
6.      Peran Sebagai Konselor
Peran orang tua sangat penting dalam mendampingi remaja, ketika menghadapi masa-masa sulit dalam mengambil keputusan bagi dirinya. Orang tua dapat memberikan gambaran dan pertimbangan nilai yang positif dan negatif , sehingga mereka mampu belajar mengambil keputusan terbaik. Selain itu orang tua juga perlu memiliki kesabaran tinggi serta kesiapan mental yang kuat menghadapi segala tingkah laku mereka, terlebih lagi seandainya remaja sudah melakukan hal yang tidak diinginkan. Sebagai konselor, orang tua dituntut untuk tidak menghakimi, tetapi dengan jiwa besar justru harus merangkul remaja yang bermasalah tersebut.
7.      Peran Sebagai Komunikator.
Suasana harmonis dan saling memahami antara orang tua dan remaja, dapat menciptakan komunikasi yang baik. Orang tua perlu membicarakan segala topik secara terbuka tetapi arif. Menciptakan rasa aman dan telindung untuk memberanikan anak dalam menerima uluran tangan orang tua secara terbuka dan membicarakan masalahnya. Artinya tidak menghardik anak.

b)     Peran Guru
1.      Bersahabat dengan siswa
2.      Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman
3.      Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri pada kegiatan ekstrakurikuler
4.      Menyediakan sarana dan prasarana bermain dan olahraga
5.      Meningkatkan peran dan pemberdayaan guru BP
6.      Meningkatkan disiplin sekolah dan sangsi yang tegas
7.      Meningkatkan kerjasama dengan orangtua, sesama guru dan sekolah lain
8.      Meningkatkan keamanan terpadu sekolah bekerjasama dengan Polsek setempat
9.      Mengadakan kompetisi sehat, seni budaya dan olahraga antar sekolah
10.  Menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan anak berkembang secara sehat adalah hal fisik, mental, spiritual dan sosial.
III.             Bentuk-bentuk kekerasan
1.      Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal
2.      Kekerasan secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3.      Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.


4.      Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.

IV.             Cara mengatasi kekerasan pada remaja
Agar remaja terhindar dari bentuk kekerasan seperti diatas perlu adanya pengawasan dari orang tua, dan perlu diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Curhat Untuk Memancing Curhat. Bila pertanyaan “ada masalah apa?” dijawab dengan “nggak ada masalah” yang dingin, ceritakanlah sebuah kisah yang sifatnya personal. Namun ingat jangan pernah sekali-kali mengawali kisah Anda dengan kalimat “Saat saya seumuran kamu.” Kalimat itu sama basinya dengan sayuran kemarin sore. Cobalah kalimat baru seperti, “Memang saya tidak tahu bagaimana rasanya jadi anak usia 15 tahun di jaman seperti sekarang ini. Tapi sata tahu rasanya jadi orang yang kesepian.”
2.      Kritiklah Kelakukannya, Bukan Anak Anda. Jangan katakan, “Hanya orang bodoh yang merokok!” namun katakan “Saya marah karena kamu telah mengambil keputusan yang salah.”. Anak Anda akan mengerti dia harus mengendalikan tingkah lakunya, demikian menurut Marc A. Zimmerman, Ph.D, profesor psikologi dari University of Michigan.
3.      Carilah kejadian-kejadian yang bisa menjadi pelajaran. Jadikanlah sebuah kejadian sebagai pembuka obrolan. Misalnya saat Anda dan anak perepuan Anda berjalan di supermarket dan melihat tabloit dengan headline ‘Ariel Peterpan Punya Banyak Pacar’. Headline seperti ini bisa Anda jadikan sebagai topik pembukaan untuk masuk ke percakapan mengenai seks. Berada di luar rumah juga dapat memudahkan terjadinya pembicaraan-pembicaraan seperti di atas, karena anak sering berpikir bahwa rumah adalah wilayah kekuasaan orang tuanya.
4.      Jangan Menghilang. Saat anak remaja Anda berkata “Pergi saja” ini bisa berarti, “Tinggalkan saya sendirian saat ini, namun datanglah beberapa saat lagi.” Tunjukan kepedulian Anda dengan menyelipkan nota kecill di bawah pintunya yang menyatakan bahwa dia sangat berarti bagi diri Anda. “Bila Anda menjauhi Anak Anda di saat seperti ini, Anda tidak akan mengetahui hal-hal apa yang dianggap penting oleh anak Anda.” menurut Nancy Molitor, Ph.D, asisten profesor untuk bidang psikologi klinis di Northwestern University Medical School. Saat Anda dan anak Anda punya waktu untuk duduk bersama dan membahas masalahnya, ingatkan anak Anda bahwa dialah orang nomor satu dalam hidup Anda dengan cara memastikan segala alat komunikasi Anda.
5.      Pahami Kamus Bahasanya. Memahami perkataan mereka dan makna sebenarnya merupakan hal yang harus Anda kuasai. seperti: 1) “Saya Baik-Baik Saja” artinya “pertanyaan ayah terlalu sederhana dan tidak berarti, saya tidak punya waktu untuk pertanyaan seperti itu sekarang.”, cobalah tanyakan siapa yang membuatnya kesal. 2) “Jangan Sekarang!” artinya “saya ingin mencari jalan keluar sendiri, jadi saya akan beritahu kapan kita bisa bicara., cobalah cari tahu kapan anak Anda bisa nongkring sambil makan es krim bersama. 3) “Terserah Deh!” artinya “Saya tidak tahu apa yang sedang saya rasakan atau apa yang ingin saya katakan -saya sedang mengulur waktu.”Anak Anda merasa bahwa pertanyaan Anda menggangu. 4) “Saya Benci Ayah!” artinya “Saya sedang marah (bila dia benar-benar membenci Anda, dia tidak akan mengatakannya langsung). Tanyakan mengapa dia marah. 5) “Ayah Payah!” artinya bahwa kata ini merupakan versi lebih kejam dari nomor 4. Cobalah buat rumah Anda bebas dari kata-kata makian dan penuhi peraturan itu.

 sumber : materi kuliah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar